Franz Magnis-Suseno SJ |
Iparpost - Jakarta. 9 Januari 2012 Apa yang akan dibawa oleh tahun 2012 bagi Papua? Tahun 2011, tak lain dari tahun-tahun sebelumnya, merupakan tahun buruk bagi Papua. Timika yang tidak tenang-tenang, brutalitas aparat terhadap Kongres Papua III di Abepura, penyiksaan (menurut ...saya rutin!) di Wamena (yang hanya diketahui karena ada orang latah bikin video). Ini hanya contoh-contoh paling akhir. Ada kesan bahwa orang-orang Papua mendapat perlakuan seakan-akan mereka belum diakui sebagai manusia. Kita teringat pembunuhan keji terhadap Theis Eluay dalam mobil yang ditawarkan kepadanya untuk pulang dari sebuah resepsi Kopassus. Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, memalukan, karena itu tertutup bagi media asing.
Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. Mengapa sampai kita membiarkan situasi seperti itu berlangsung? Mempersalahkan OPM? Menggelikan! OPM tidak mempunyai kemampuan untuk memisahkan Papua dari RI. Atau karena orang-orang Papua dicurigai mau lepas dari RI? Kalau begitu maka Indonesia yang harus malu. Sudah 49 tahun Papua secara efektif di bawah kekuasaan Indonesia, kok masyarakat Papua belum juga bisa merasa sebagai warga Indonesia? Jangan-jangan segala omongan dan tindakan tentang “Irian” dulu hanyalah kedok imperialisme picik sedangkan terhadap orang-orang Papua sendiri siapa yang peduli? Ingat, kalimat pertama Undang Undang Dasar kita juga berlaku bagi orang-orang Papua. Papua Bisa Lepas? Padahal kekhawatiran bahwa Papua bisa lepas dari RI adalah tanpa dasar.
Pulau Papua |
Papua bukan Timor Leste. Kalau Timor Leste, di hati kecil kita selalu tahu bahwa kita tidak berhak berada di situ. Papua lain. Lain bukan karena act free of choice 1969 yang memang penuh manipulasi (tetapi: apakah waktu itu ada kemungkinan sebuah jajak pendapat yang tidak manipulatif?). Melainkan karena hukum tak tertulis dunia pasca kolonial: Bahwa batas-batas yang ditarik bekas kuasa-kuasa kolonial tidak boleh diganggu-gugat (yang baru ada satu kekecualian, Sudan Selatan tahun lalu, dan kasusnya amat berbeda dari Papua). Papua bersatu sah dengan Indonesia karena termasuk Hindia Belanda dulu. Hal itu diakui dunia internasional. Itu perlu diperhatikan oleh semua yang bersatu rasa dengan Papua. Segala usaha ke arah suatu Papua Merdeka menipu orang Papua dan hanya akan membawa penderitaan dan maut bagi masyarakat Papua.
Indonesia tak pernah akan melepaskan Papua dan dunia internasional tidak akan mendukung Papua Merdeka. Jangan sampai tertipu karena di Amerika atau Inggris ada beberapa politisi yang, katanya, mendukung kemerdekaan Papua. Mereka tidak relevan. Amerika Serikat maupun Eropa tidak berkepentingan dengan Papua, melainkan dengan sebuah Indonesia yang demokratis, kuat dan mantap. Mereka tidak pernah akan mengambil risiko bermusuhan dengan Indonesia hanya demi Papua. Akan tetapi, Indonesia harus hati-hati juga.
Kalau Luar Negeri, melalui media mendapat kesan bahwa Indonesia melakukan genosid terhadap penduduk asli Papua, situasi internasional bisa menjadi serius bagi Indonesia. Genosid? Tentu tidak seperti genosid 1992 di Ruanda. Tetapi kalau orang-orang asli Papua makin banyak yang meninggal karena AIDS, TBC dan penyakit-penyakit lain, kalau mereka terus ketinggalan, miskin dan tersingkir, kalau mereka mengalami nasib sama seperti orang Indian di Amerika Utara atau Aborigines di Australia, kita akan ditelanjangi di depan dunia beradab sebagai bangsa yang biadab, bangsa pembunuh orang-orang Papua, meski tidak memakai senjata tajam. Banting Stir Maka sudah waktunya pemerintah kita betul-betul banting stir dalam kebijakan terhadap Papua.
Yang pertama adalah: kita harus berhenti menyangkal bahwa ada masalah. Yang paling penting adalah sebuah dialog terbuka antara Pemerintah Nasional kita dengan orang-orang Papua yang tidak termanipulasi. Selain kemerdekaan, maka tak ada apa pun yang tidak boleh dibahas dan dipertimbangkan kemungkinannya. Tentu beberapa langkah mudah dapat disebutkan. Penarikan militer non-organik seperti yang direncanakan adalah langkah ke arah yang betul. Pendekatan kekerasan harus diakhiri (sesuatu yang tidak mudah karena kita tahu dari daerah-daerah lain bahwa aparat kita belum mampu membawa diri secara beradab). Kekerasan hanya dibenarkan melawan serangan fisik langsung. Peristiwa seperti Abepura tahun lalu tidak boleh terulang.
Yang paling perlu: Pemerintah, aparat pengaman lama-kelamaan harus menjadi dewasa. Artinya, harus mampu ber sikap lebih rileks. Mengapa mesti panik kalau bendera bintang kejora muncul? Mengapa tidak, seperti pernah diusulkan Presiden Abdurrachman Wahid, bendera itu dinyatakan bendera daerah saja, selesai. Kalau orang, seperti baru saja di Abepura, menyatakan diri merdeka, apa harus panik, apa harus pukul dan membunuh, membawa diri seperti binatang? Sudah cukup kalau seperlunya mereka diminta mempertanggungjawabkan diri di depan pengadilan.
Bereskan dong masalah Freeport. Sudah banyak sekali gagasan yang pantas untuk diperhatikan. Jelaslah dong, di dekat salah satu sumber kekayaan nasional dan internasional paling raksasa tidak boleh ada kantong-kantong kemiskinan. Kalau Freeport mau diizinkan terus, pastikan bahwa kita Indonesia memperoleh keuntungan ekonomis maksimal, dan bahwa pencemaran lingkungan dibatasi pada tingkat minimum. Bangun infrastruktur yang diperlukan masyarakat Papua, pastikan agar masyarakat Papua tersedia kesempatan pendidikan bermutu, batasi kemungkinan pendatang memperoleh KTP. Tetapi yang terpenting adalah dialog tulus-terbuka dengan saudara-saudari Papua sendiri dan tanyakan apa yang mereka harapkan. Penulis adalah rohaniwan dan guru besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara.
Telah di teruskan Oleh : IPOUGA